MENJADI GEREJA ANALOG DI ERA DIGITAL
Warga dunia pasti tidak akan pernah melupakan COVID-19,
virus yang membuat hampir semua sektor yang ada menjadi
luluh lantak. Di dunia modern sekalipun, di
tengah-tengah perkembangan teknologi yang sangat maju,
ternyata virus penyebab penyakit masih dapat menyebabkan
keadaan dunia menjadi kacau di hampir semua sektor.
Masih segar di ingatan kita, bahwa 11 Maret 2020,
Direktur Jenderal WHO (World Health Organization),
Tedros Adhanom Ghebreyesus mengumumkan bahwa penyakit
COVID-19 secara resmi menjadi pandemi yang bersifat
global karena COVID-19 telah menyebar luas ke seluruh
dunia[1].
Di Indonesia sendiri, Presiden Joko Widodo, pada 2 Maret
2020 mengumumkan kasus pertama COVID-19[2]. Hal ini
menyebabkan dampak yang negatif yang luar biasa seperti
adanya panic buying (pembelian secara panik) sembako[3],
bahkan kondisi Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di
Bursa Efek Indonesia (BEI) sempat menyentuh level
3.937,63 pada 24 Maret 2020, atau melemah sekitar 26%
dari level penutupan IHSG dari hari pengumuman kasus
COVID-19 pertama di Indonesia[4], dan juga pembatasan
kegiatan masyarakat berskala besar yang berakibat kepada
adanya physical distancing[5] yang tentu berimbas kepada
dilarangnya pertemuan ibadah anak-anak Tuhan di gereja
lokal masing-masing.
Setelah masa-masa yang sangat berat selama kurang lebih
3 (tiga) tahun dan juga setelah diadakannya program
vaksinasi COVID-19 secara gencar, maka atas kemurahan
Tuhan, pemerintah secara resmi mencabut status pandemi
COVID-19 di Indonesia pada 21 Juni 2023[6] setelah 6 Mei
2023, WHO juga secara resmi telah mencabut status
darurat COVID-19[7], meskipun virus COVID-19 belum
sepenuhnya hilang dari muka bumi. Artinya, COVID-19 saat
ini berstatus endemi atau tidak lebih dari penyakit
biasa.
Masyarakat sangat bereuforia atas berakhirnya status
pandemi. Ekonomi dunia yang tadinya lesu, mulai
bergeliat kembali, sekolah-sekolah kembali dibuka untuk
pembelajaran tatap muka, pertemuan-pertemuan besar
kembali diadakan tanpa perlu kuatir penyebaran virus
COVID-19, penggunaan masker wajah yang tidak lagi
diwajibkan.
Tidak terkecuali, anak-anak Tuhan pun dapat kembali
berkumpul bersama secara onsite untuk beribadah bersama.
Sungguh hal ini mendatangkan sukacita yang luar biasa
bagi umat manusia. Namun, di tengah “kebebasan” yang
sudah terjadi ini, ada segelintir anak Tuhan yang tetap
memilih untuk beribadah secara daring atau online
seperti pada saat masa pandemi. Dalih yang biasa
diungkapkan adalah karena ibadah secara daring sudah
membuat mereka “nyaman” daripada perlu repot-repot untuk
datang ke tempat ibadah, toh sama saja.
Mari kita sama-sama belajar; apakah maksudnya menjadi
gereja analog di dalam era digital, tidak terkecuali
termasuk apakah kita perlu untuk kembali sepenuhnya ke
ibadah onsite jika situasi dan kondisi kita memungkinkan.
Meninjau Kembali Makna “Gereja”
Sebagai orang percaya, kita tahu bahwa gereja adalah
sebuah entitas yang didirikan sendiri oleh Tuhan Yesus
berdasarkan percakapan-Nya dengan Simon Petrus.
Lalu Yesus bertanya kepada mereka, “Menurut kamu,
siapakah Aku ini?”
Jawab Simon Petrus, “Engkau adalah Mesias, Anak Allah
yang hidup!”
Kata Yesus kepadanya, “Berbahagialah engkau Simon anak
Yunus
sebab bukan manusia yang menyatakan itu kepadamu,
melainkan Bapa-Ku yang di surga.
Aku pun berkata kepadamu: Engkau adalah Petrus dan di
atas batu karang ini
Aku akan mendirikan gereja-Ku dan alam maut tidak akan
menguasainya.”
Matius 16:15-18 TB2
Kita menemukan di ayat 18 kata “gereja” yang merupakan
suatu kata yang berasal dari bahasa Yunani ekklesia.
Kata ekklesia berasal dari kata depan ek yang berarti
“keluar dari”, dan kata kaleo yang berarti “memanggil”.
Jadi, secara literal, kata “gereja” berarti “suatu
kelompok yang dipanggil keluar”[8]. Di dalam Perjanjian
Baru, kata “gereja” tidak pernah menunjuk kepada suatu
bangunan. Berdasarkan keanggotaannya, gereja dibagi ke
dalam 2 (dua) jenis[9]:
1. Gereja Universal, yaitu gereja yang terdiri dari
hanya orang-orang yang sudah diselamatkan yang tanpa
sadar bergabung dengan Yesus pada keselamatan yang
dikerjakan oleh Roh Kudus.
2. Gereja Lokal, yaitu sebuah komunitas sukarela yang
terdiri dari orang-orang yang mengaku percaya kepada
Injil, termasuk mereka yang mungkin belum pernah lahir
baru.
Di dalam sejarahnya, Gereja sudah selalu berusaha
untuk[10]:
1. Mendefinisikan dirinya sebagai tubuh orang-orang
percaya di dalam Yesus Kristus.
2. Memperlihatkan ciri-ciri dimana Roh Kudus
melaksanakan misi-Nya.
3. Berfungsi dengan cara yang menyenangkan Tuhan
melalui ibadah, membangun anggotanya melalui pewartaan
Firman dan perayaan sakramen, dan secara misi melibatkan
orang-orang yang tidak percaya melalui penginjilan dan
pekerjaan baik.
Dengan menilik usaha-usaha yang sudah dilakukan oleh
Gereja, maka kita mendapatkan fungsi-fungsi utama dari
gereja, yaitu[11]:
1. Ibadah / liturgia:
Sebagaimana orang-orang percaya di Perjanjian Lama
berkumpul pada hari Sabat untuk beribadah, maka kitab
Kisah Para Rasul pun menelusuri transisi di mana semua
orang yang menyebut dirinya Kristen mulai beribadah pada
hari Minggu dalam rangka memperingati kebangkitan
Kristus (Yohanes 20:1,19).
Mereka memperingati Perjamuan Tuhan pada hari pertama
dari minggu itu (Kisah Para Rasul 20:7) dan mengambil
persembahan pada hari pertama dari seminggu itu (1
Korintus 16:2). Menyanyikan himne juga merupakan bagian
dari ibadah bersama di gereja mula-mula (1 Korintus
14:26).
Perlu diingat bahwa orang percaya di Perjanjian Baru
tidak membawa binatang mati dalam ibadah, melainkan yang
hidup, yang telah dikhususkan untuk Allah dan
dipersembahkan kepada Allah, sebagai suatu sikap ibadah
(Roma 12:1). Ibadah yang sejati harus memiliki natur
spiritual dan harus sesuai dengan kebenaran yang telah
dinyatakan oleh Allah. (Yohanes 4:24)
2. Pengajaran / didaskalia
Pengajaran merupakan unsur vital dalam kehidupan gereja
mula-mula. Tujuan Allah memberikan Kitab Suci adalah
untuk mengajar jemaat dan memimpin kepada kedewasaan
penuh di dalam Kristus (2 Timotius 3:16). Pengajaran
merupakan:
· penangkal terhadap ajaran sesat (1 Timotius 1:3),
· menghasilkan kasih di antara orang percaya (1
Timotius 1:5),
· menghasilkan makanan rohani yang sehat (1
Timotius 4:6),
· kesalehan (1 Timotius 4:6-16),
· ketaatan (1 Timotius 5:17; 6:2),
· dan fokus yang tepat dari kehidupan seseorang. (1
Timotius 6:17)
Rasul Paulus pun memberikan instruksi kepada Timotius
untuk mengajar yang lain agar bertumbuh. (2 Timotius
2:2) Kegagalan untuk merespons pengajaran akan
menghasilkan bayi-bayi rohani. (Ibrani 5:12)
Dari awalnya pun, gereja tekun untuk mempelajari
pengajaran dari para rasul (Kisah Para Rasul 2:42) dan
kemudian memenuhi kota dengan ajaran Kristen. (Kisah
Para Rasul 5:28) Pentingnya pengajaran sebagai fungsi
dari Gereja tidak dapat disangkali.
3. Persekutuan / koinonia
Kata “persekutuan” berarti “berbagi” dan ia menekankan
kesatuan gereja, dan hal ini bisa terjadi dengan
berbagai cara. Gereja mula-mula berkumpul untuk
bersekutu dan memecahkan roti dan berdoa. (Kisah Para
Rasul 2:42)
Pemecahan roti ini termasuk makan dalam persekutuan yang
sering disebut perjamuan kasih yang diikuti dengan
Perjamuan Tuhan. Persekutuan dapat melibatkan hal materi
untuk menolong pemberitaan Injil. (Roma 15:26)
Di dalam persekutuan juga ditekankan fakta bahwa orang
percaya itu saling memiliki. Rasul Paulus menekankan hal
ini dengan penggunaan kata “satu sama lain”. Karena
persekutuan mereka dalam Kristus, Paulus memerintahkan
orang percaya untuk:
· menerima satu sama lain (Roma. 17:7),
· saling mengasihi (Efesus 4:2),
· menahan diri dari saling menghakimi (Roma 14:3),
· saling membangun (Roma 14:19), dan
· saling mengingatkan (Roma 15:14).
Relasi satu dengan yang lain sangat penting untuk
menjaga kesatuan iman seperti yang Kristus doakan (Yohanes
17) dan Paulus minta. (Filipi 2:1-4)
4. Pelayanan / diakonia
Gereja juga harus terlibat dalam pelayanan dimana hal
ini melibatkan penginjilan kepada orang percaya di dunia.
(Kisah Para Rasul 8:4) dan bermacam-macam pelayanan
terhadap orang percaya dalam persekutuan gerejawi.
Pelayanan melibatkan penerapan karunia-karunia rohani
dalam pelayanan terhadap satu sama lain (Roma 12:3-8; 1
Korintus 12) dan dengan tanda itu melayani orang lain
(Roma 12:7), memberikan apa yang dibutuhkan orang lain
sehingga memperlihatkan kemurahan (Roma 12:8), dan
menolong orang lain (1 Korintus 12:28)
Pelayanan juga melibatkan penerapan disiplin gerejawi,
dimana hal ini biasanya diterapkan karena masalah
imoralitas (1 Korintus 5:1-13) atau doktrin yang salah.
(2 Tesalonika 3:14)
Pelayanan juga harus melibatkan pelayanan kepada
orang-orang yang membutuhkan pertolongan di gereja
khususnya para janda. (Yakobus 1:27)
Dengan melayani, orang percaya dapat menjadi bukti
sebagai “surat Krisus” yang dapat dikenal dan dapat
dibaca oleh semua orang. (2 Korintus 3:2)
Selain itu, dari Pengakuan Iman Nicea kita juga
mendapatkan sifat-sifat gereja, yaitu[12]:
1. Satu
Satu adalah karakter dari gereja Yesus Kristus yang
sejati. Bapa Gereja Ireneus mengatakan bahwa “gereja,
meskipun tersebar di seluruh dunia, telah menerima dari
para rasul dan murid-muridnya iman ini, seperti
menempati satu rumah, dan dengan hati-hati
melestarikannya.” Hanya gereja yang sejati yang
berpegang pada keyakinan bersama ini yang menyatukan
gereja-gereja individual menjadi satu.
2. Kudus
Teofilus berkata “Tuhan telah memberikan kepada dunia,
yang didorong dan diombang-ambingkan oleh dosa,
lembaga-lembaga yaitu gereja-gereja kudus, yang bertahan
dalam doktrin kebenaran.
3. Am
Kata “am” berasal dari kata Latin catholicam yang
berarti “universal”.
Bagi Klemen dari Alexandria, ke universalan gereja
adalah subyek dari perumpamaan Yesus tentang biji sesawi.
(Matius 13:31-32)
Bagi Cyril dari Yerusalem, gereja itu “universal” karena
ia berkembang ke seluruh dunia dan karena ia mengajar
secara universal dan lengkap satu dan seluruh doktrin
yang seharusnya menjadi pengetahuan manusia.
4. Rasuli
Tertullian berkata bahwa setiap doktrin harus selaras
dengan pengajaran para rasul, yang ditunjuk langsung
oleh Kristus, maupun murid-murid para rasul, yang telah
menerima pengajaran para rasul baik secara lisan maupun
tulisan.
Dengan melihat kepada 4 (empat) sifat gereja ini, maka
tidaklah berlebihan jika bapa gereja Cyprian dari
Kartago berkata: “Extra ecclesiam nulla salus”, yang
berarti bahwa “di luar gereja, tidak ada keselamatan”,
karena gereja adalah perwujudan Kristus yang memiliki
otoritas untuk mengajar perihal kebenaran.
Gereja Analog Di Dalam Era Digital
Seorang teolog dari Swiss yang bernama Karl Barth, pada
tahun 1947 mempopulerkan sebuah frase yang dianggap
berasal dari bapa gereja Agustinus, yaitu Ecclesia
reformata semper reformanda, yang secara literal berarti
“gereja yang direformasi harus selalu tereformasi”[13].
Reformasi yang dimaksud tentu adalah reformasi yang
menjaga gereja agar selalu selaras dengan kebenaran
Firman Tuhan. Tidak terkecuali pada reformasi yang
menyangkut tata cara dan mekanisme ibadah / liturgi agar
kontekstual dengan perkembangan zaman, namun tetap dalam
koridor esensi kebenaran Firman Tuhan.
Gereja Katolik Roma pun menyatakan melalui dokumen Inter
Mirifica, yang merupakan salah satu dekrit hasil
Konsilli Vatikan II pada tahun 1965, bahwa gereja wajib
menggunakan semua media komunikasi sosial demi
mewartakan keselamatan seperti media cetak, sinema,
radio, televisi, dsb. Dikatakan lebih lanjut bahwa
Konsili Vatikan II adalah sebuah aggiornamento, yaitu
“usaha gereja untuk menyesuaikan diri selaras zaman”[14].
Pada faktanya, dengan perkembangan teknologi yang begitu
pesat dewasa ini, maka tidak terhindarkan pula
penggunaan teknologi yang begitu masif di dalam gereja
untuk menjalankan fungsi-fungsinya: litugia, didaskalia,
koinonia, dan diakonia. Muncul pertanyaan: perlukah
gereja tetap mempertahankan mekanisme analog di era
digital ini?
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata
“analog” berarti “bersangkutan dengan analogi; sama;
serupa”[15], sedangkan kata “digital” berarti
“berhubungan dengan angka-angka untuk sistem perhitungan
tertentu; berhubungan dengan penomoran”[16]. Melihat
definisi kata “analog”, kita dapat membayangkan bahwa
peristiwa inkarnasi Allah Putera adalah suatu peristiwa
analog, karena Ia menjadi “sama” dengan manusia (Filipi
2:7), bahkan mengambil rupa seorang hamba. Di dalam
perkembangannya, terminologi “analog” sering diartikan
sebagai “konvensional”, sedangkan “digital” sering
dikaitkan dengan “teknologi”.
Jay Y. Kim, seorang penulis dan hamba Tuhan dari
Westgate Church, Silicon Valley, California, Amerika
Serikat di dalam bukunya yang berjudul Analog Church
menuliskan bahwa sebagai pemimpin-pemimpin gereja, kita
tentu mau gereja kita terlihat dan terdengar baik. Oleh
sebab itu, kita tidak pernah berhenti untuk mencari
sesuatu yang baru, segar, dan sedang tren di masyarakat.
Kita tidak mau orang-orang mengenal gereja kita sebagai
“gereja nenek” mereka. Namun, bagaimana jika justru di
“gereja nenek” ini ada hal-hal yang benar dan yang
harusnya dipertahankan?[17]
Sherry Turkle, seorang sosiolog dari Amerika Serikat, di
dalam bukunya Alone Together mengatakan “Koneksi digital
. . . mungkin menawarkan ilusi persahabatan tanpa
tuntutan persahabatan. Kehidupan berjejaring kita
memungkinkan kita untuk bersembunyi dari satu sama lain,
bahkan saat kita terikat dengan satu sama lain.”[18]
Kita tidak dapat memungkiri bahwa kemajuan teknologi di
era digital memberikan tiga kontribusi besar terhadap
peningkatan pengalaman manusia, yang dapat menjadi
nilai-nilai yang tidak dapat disangkal:
1. Kecepatan
Kita mempunyai akses terhadap apa yang kita
inginkan kapan pun kita mau, secepat jari kita mengetik.
2. Pilihan
Kita memiliki akses ke beragam pilihan yang takkan
ada habisnya dalam hal apa pun.
3. Individualisme
Semuanya, mulai dari profil online hingga gawai,
dapat disesuaikan tanpa henti, sehingga memungkinkan
kita untuk menonjolkan preferensi dan kepribadian kita.
Meskipun kontribusi ini telah menambah kenyamanan bagi
sebagian hidup kita, nilai tambah pun datang dengan
harga yang mahal, karena keinginan kita akan teknologi
digital menjadi semakin berlebihan, dan ketika nilai
tambah ini tidak dapat dipertanggungjawabkan, maka
nilai-nilai tersebut pun berubah menjadi sesuatu yang
negatif. Kontribusi positif dari era digital ini telah
mengakibatkan kehancuran kita:
· Kecepatan di era digital membuat kita menjadi
tidak sabar.
· Pilihan di era digital telah membuat kita menjadi
dangkal.
· Individualisme di era digital telah membuat kita
menjadi terisolasi.[19]
Namun, gereja Tuhan seharusnya menjadi yang paling
efektif ketika ia berdiri dengan kontras terhadap budaya
yang dominan pada saat ini. Perlawanan kreatif seperti
inilah yang paling kita butuhkan di era digital. Dan
cara paling kreatif untuk menentang kontribusi negatif
dari era digital adalah dengan cara memanfaatkan peluang
untuk menjadi analog.
· Dengan memperlambat ketika dunia semakin cepat.
· Dengan saling berkomunikasi ketika dunia memilih
untuk saling mengkritik.
· Dengan berkumpul ketika dunia sedang
tercerai-berai.
Saat kita melayani dan memimpin di gereja lokal, kita
harus ingat bahwa tujuan kita bukanlah untuk menjual
produk atau layanan, melainkan memuridkan jemaat kita.
Pemuridan ini membutuhkan kesabaran, kedalaman, dan
komunitas. Hal ini haruslah disengaja dengan menggunakan
metode yang tepat.[20]
Di dalam suatu ibadah, pasti terdapat musik, khotbah,
Perjamuan Kudus, persembahan, dan memberi salam kepada
satu sama lain, yang meskipun tidak mencakup seluruh
bagian dari ibadah yang Alkitabiah, namun tidak dapat
disangkal bahwa semua itu merupakan unsur-unsur kuncinya.
Dalam teks asli Alkitab bahasa Ibrani dan Yunani, kata
“ibadah” secara eksplisit menunjuk kepada partisipasi
seluruh tubuh dalam respons hormat kepada Tuhan. Ibadah
menyiratkan gestur sujud syukur, berlutut dengan kepala
menghadap ke tanah, mengangkat tangan, melompat, dll.
Ini semua adalah tindakan pemujaan dan kesetiaan yang
memerlukan partisipasi seluruh tubuh.[21]
Sewaktu suatu khotbah disampaikan secara daring, tidak
peduli seberapa dinamis dan berbakatnya sang pengkhotbah
sekalipun, khotbah tersebut pada hakikatnya merupakan
pengalaman menonton (watching), dan bukan pengalaman
menyaksikan (witnessing).
Di dalam hal berkhotbah, perbedaan antara menonton dan
menyaksikan adalah segalanya. Kebanyakan orang saat ini
menganggap bahwa khotbah adalah sesuatu yang monolog
atau satu arah, yang dimaksudkan untuk menyemangati,
menginspirasi, dan terkadang menantang kita. Namun
khotbah seharusnya lebih dari itu. Khotbah adalah
tindakan transenden yang dimaksudkan untuk
mentransformasi kita, dan transformasi itu memerlukan
partisipasi.[22]
Partisipasi yang dimaksud adalah sesederhana berkata
“Amin” sebagai respon kepada si pengkhotbah misalnya
pada saat ia menyampaikan janji Tuhan di dalam Alkitab.
Ini adalah satu hal yang dapat didengar secara langsung
oleh si pengkhotbah maupun anggota jemaat yang lain. Hal
yang sama adalah juga sewaktu kita bernyanyi untuk
memuji dan menyembah Tuhan di dalam gedung gereja. Kita
diingatkan bahwa kadangkala kita adalah orang lumpuh
yang diusung di atas tempat pembaringan dan masuk dari
atap rumah atau mungkin kitalah yang mengusung orang
lain. Alkitab berkata bahwa Yesus melihat iman mereka.
Perhatikan kata “mereka” yang adalah bentuk jamak.
Inilah persekutuan orang percaya. Inilah mengapa penting
bagi kita untuk berkumpul dalam waktu yang nyata dan
dalam ruang yang nyata sebagai orang-orang nyata (Lukas
5:20).[23]
Jay Y. Kim juga mengatakan bahwa dalam banyak hal dari
mulanya, manusia sudah memiliki ambisi akan teknologi.
Hal itu tercermin dari kisah mengenai “Menara Babel” di
Kejadian 11. Kita bisa melihatnya secara lebih utuh
melalui pemaparan di bawah ini.[24]
Ayat Firman (TB2)
Interpretasi
“Adapun seluruh bumi pernah memiliki satu bahasa dan
satu logat” (Kej. 11:1).
Internet telah membawa kita lebih dekat ke realitas kuno
ini daripada pada sebelumnya dalam sejarah manusia.
“Ketika orang-orang berangkat ke sebelah timur . . .” (Kej.
11:2).
Pergerakan ke timur dalam konteks ini menyiratkan
pergerakan pergi
dari rencana Tuhan untuk perkembangan jumlah manusia.
“Lalu bata itu mereka pakai sebagai batu dan ter sebagai
bahan perekat” (Kej. 11:3).
Penyalahgunaan teknologi digital menyebabkan alat yang
bermanfaat menjadi berbahaya.
“Marilah kita dirikan bagi kita sebuah kota dengan
sebuah menara yang puncaknya sampai ke langit. Marilah
kita mencari nama supaya kita tidak terserak ke seluruh
bumi” (Kej. 11:4).
Orang-orang di Babel menggunakan teknologi dengan maksud
dan tujuan "membuat nama" bagi diri mereka sendiri. Kata
Ibrani untuk "nama" di sini mengkomunikasikan ketenaran,
kemuliaan, dan reputasi.
“Demikianlah mereka diserakkan TUHAN dari sana ke
seluruh bumi, dan mereka berhenti mendirikan kota itu.
Itulah sebabnya kota itu disebutkan dengan nama Babel
karena di situlah dikacaubalaukan TUHAN bahasa seluruh
bumi dan dari situlah mereka diserakkan TUHAN ke seluruh
bumi” (Kej. 11:8-9).
Ini adalah paradoks dari era digital: saat teknologi
memungkinkan kita untuk lebih terhubung dari sebelumnya,
kita malah menjadi sangat “berjauhan”.
Lebih lanjut, sebuah survey yang dilakukan oleh Pew
Research Center pada tahun 2017 menyimpulkan bahwa
alasan orang-orang menghadiri ibadah di gereja adalah:
1. Supaya lebih dekat dengan Tuhan
2. Sehingga anak-anak mempunyai landasan moral yang baik
3. Menjadi pribadi yang lebih baik
Akan tetapi, ada sesuatu yang hilang secara mencolok
dari alasan-alasan ini, yaitu bahwa kehidupan
berkomunitas di dalam gereja tidak disebutkan sebagai
salah satu alasan mengapa orang-orang datang beribadah
ke gereja. Hal ini dapat berarti bahwa orang-orang ini
tidak mempunyai rasa memiliki gereja tersebut. Selain
itu, orang-orang ini juga tidak memiliki kerinduan untuk
berkontribusi lebih besar terhadap Kerajaan Allah.
Banyak orang ingin gereja lokal mereka disesuaikan dan
dirancang agar sesuai dengan kebutuhan, keinginan, dan
preferensi spesifik mereka saja daripada dipanggil dan
diperlengkapi untuk kepentingan Tubuh Kristus yang lebih
besar.[25]
Perlu diingat, gereja tidak menjual produk yang mudah
untuk diakses dan lebih ramah pengguna. Ini bukanlah
bahasa sebuah komunitas. Ini adalah bahasa komoditas.
“Gereja online” adalah sebuah produk untuk dikonsumsi,
dan bukan orang-orang yang akan bergabung. Komunitas
bukanlah tentang mengeluarkan suatu produk, tetapi
tentang mengumpulkan orang-orang di mana pun mereka
berada.[26] Ed Stetzer, seorang penulis, gembala, dan
misiolog dari Amerika Serikat berkata, “Gereja boleh
saja dilakukan secara daring (sesuai dengan kondisi yang
ada), tetapi gereja jangan menjadi ‘gereja online’”.
Yang dimaksudkan di sini adalah agar kita memahami dan
memanfaatkan platform online sebagaimana adanya, sebagai
sebuah sarana digital yang bermanfaat untuk sebuah
tujuan inkarnasi yang lebih besar.[27]
Kita juga perlu mengerti bahwa gereja adalah sebuah
komunitas yang dibangun terutama atas dasar komitmen,
lebih daripada kecocokan atau kenyamanan. Gereja adalah
sebuah keluarga. Karena meningkatnya individualisme
dalam masyarakat luas selama berabad-abad, banyak orang
Kristen saat ini telah diajari, baik secara implisit
maupun eksplisit, bahwa keselamatan dalam Kristus adalah
sebuah pengalaman individu. Namun Alkitab menyatakan hal
yang berbeda. Yesus dan para penulis Perjanjian Baru
memperjelas bahwa mereka yang mengakui Kristus sebagai
Tuhan dan Juruselamat tidak hanya diselamatkan sebagai
individu yang terisolasi tetapi, yang paling penting,
mereka diselamatkan ke dalam komunitas Allah. Pengalaman
setiap keluarga tentu sangatlah beragam, sehingga
gagasan tentang gereja sebagai sebuah keluarga adalah
suatu gagasan yang menantang. Hubungan di dalam sebuah
keluarga seringkali tidak stabil dan seringkali tidak
dapat diprediksi, namun tidak dengan kekerabatan. Kita
tidak dapat memilih siapa orang tua maupun kakak atau
adik kita. Kekerabatan di dalam keluarga tidak dapat
disangkal dan tidak akan berakhir. Demikian pula halnya
dengan keluarga Allah yaitu gereja. Kita saling terikat
satu sama lain. Kita tidak memilihnya, melainkan kita
diselamatkan ke dalamnya.[28] Oleh sebab itu, sangatlah
penting bagi kita untuk belajar berkomunitas di dalam
gereja, bukan saja berkomunikasi. Berkomunikasi pada
dasarnya adalah tentang pertukaran informasi.
Berkomunitas pada dasarnya adalah tentang pertukaran
kehadiran. Karena walaupun kita bisa berkomunikasi
secara digital, kita hanya bisa berkomunitas secara
analog.[29] Tentu saja di dalam berkomunitas, tidak
semua pasti berjalan mulus. Gesekan pasti selalu ada.
Oleh sebab itu, berkomunitas, sama halnya dengan membaca
Alkitab, dimaksudkan untuk memberikan rasa nyaman
sekaligus memberikan konfrontasi atau teguran, karena
inilah cara kita bertumbuh. Seperti yang dikatakan oleh
Firman Tuhan, “Besi menajamkan besi, orang menajamkan
sesamanya.” (Amsal 27:17 TB2)
Perlukah Kembali Ke Ibadah Onsite Sepenuhnya?
Teknologi internet pertama kali ditemukan pada tahun
1983. Sejak saat-saat awal penemuan internet ini, para
individu dan kelompok Kristen sudah melihat suatu
potensi teknologi dengan menggunakan internet untuk
keperluan persekutuan, penjangkauan, dan penginjilan.[30]
Bagi gereja-gereja yang memiliki sumber daya yang
memadai, salah satu perubahan paling nyata dalam praktik
mereka selama periode ini adalah meluasnya penerapan
teknologi digital dalam ibadah, pelayanan pastoral,
pemuridan, dan misi. Namun demikian, internet
menyingkirkan batasan-batasan fisik tertentu dan
menciptakan batasan-batasan baru. Hal ini memungkinkan
kita, misalnya, untuk berkomunikasi dengan orang-orang
yang tidak berada dalam wilayah geografis yang sama.
Pada kasus lain, dalam hal ini contohnya sentuhan fisik,
teknologi ini justru menemui keterbatasannya. Pada
dasarnya, semua teknologi mempunyai tujuan untuk
memperluas kapasitas manusia. Dalam suratnya kepada
jemaat di Kolose, Rasul Paulus menulis:
“Sebab, meskipun aku sendiri tidak ada di antara kamu,
tetapi dalam roh aku bersama-sama dengan kamu dan aku
melihat dengan sukacita tertib hidupmu dan keteguhan
imanmu dalam Kristus.”
Kolose 2:5 TB2
Meski tidak hadir secara fisik, ia tetap terlibat dengan
gereja-gereja tersebut dalam praktik ibadah, pemuridan
dan disiplin gereja. Oleh karena itu, dalam pandangan
Paulus, jarak geografis tidaklah menghalangi
partisipasinya dalam gereja-gereja tersebut. Hal ini
menggambarkan bagaimana kehadiran satu sama lain tidak
semata-mata bergantung pada kedekatan geografis. Dari
sudut pandang ini, cukup masuk akal bahwa komunitas
gereja yang bertemu secara daring dan berkumpul dalam
nama Kristus dapat memperoleh legitimasi gerejawi. Di
tahun-tahun ke depan, mungkin saja generasi yang lebih
muda (dalam hal ini, pemuda dan anak-anak) bermigrasi
menuju ke komunitas gereja online murni di mana umat
Kristen berkumpul sebagai avatar di dalam dunia realitas
virtual.
Sewaktu pandemi COVID-19 sedang berlangsung,
gereja-gereja “memutar otak” untuk memikirkan cara
terbaik agar anggota jemaat yang tidak boleh hadir
secara fisik di gedung gereja, karena aturan pembatasan
ketat yang dibuat oleh pemerintah, dapat turut serta,
paling tidak, merasakan atmosfir ibadah. Ibadah secara
daring dilakukan melalui berbagai platform digital, di
antaranya: Zoom, livestreaming Youtube, rekaman khotbah
yang diunggah ke aplikasi digital gereja, bahkan ada
gereja yang melakukan ibadah secara daring di Metaverse
dengan menggunakan kacamata Virtual Reality. Pelayanan
jemaat lainnya seperti mendoakan orang sakit atau
baptisan (dengan dipandu pembaptis) juga dilakukan lewat
layanan video call aplikasi Whatsapp. Memang tidak
dipungkiri bahwa penggunaan platform digital untuk
ibadah secara umum dapat menjangkau kalangan yang lebih
luas, terutama secara geografis. Selain itu, ibadah
online ini juga dapat direkam dan diarsipkan sehingga
sewaktu-waktu, siapa pun yang ingin mendengar dan
merasakan ibadah ini dapat memutarnya ulang. Bagi
orang-orang yang lebih tertutup atau introvert, ibadah
secara daring dapat memberikan perasaan kurang
terintimidasi karena tidak perlunya mereka untuk
bertegur sapa dengan orang lain seandainya mereka
menghadiri ibadah di dalam gedung gereja.[31]
Meskipun esensi, dalam hal hubungan dengan Tuhan sebagai
pusat ibadah, ibadah secara daring maupun secara fisik
tidak berbeda, tetap saja ada hal-hal yang ada di dalam
ibadah secara fisik yang tidak mungkin difasilitasi di
dalam ibadah secara daring. Sebagai contoh, atmosfir
ibadah secara komunal tidak dapat digantikan dengan
ibadah secara daring yang dilakukan sendiri-sendiri atau
bahkan dengan anggota keluarga terdekat. Belum lagi
adanya “gangguan” yang mungkin saja terjadi selama
melaksanakan ibadah secara daring, di antaranya perasaan
ingin ke kamar kecil yang dapat langsung dilakukan
karena ibadah di dalam rumah dan hanya dilihat oleh
anggota keluarga terdekat. Atau mungkin bagi yang
memiliki anak kecil, mereka berteriak atau berlarian
untuk alasan apa pun yang membuat kita harus membantu
mengarahkan mereka sehingga kita perlu sejenak
“meninggalkan area” ibadah. Atau juga teriakan penjual
makanan yang lewat di depan rumah sewaktu kita beribadah
dapat membuyarkan konsentrasi kita dalam melakukan
ibadah. Selain itu, kita perlu mengingat bahwa fungsi
persekutuan atau koinonia dari gereja dengan sesama
anggota Tubuh Kristus tidak dapat terbangun maksimal
melalui ibadah secara daring. Sedangkan di dalam ibadah
secara fisik, gestur kasih dan perhatian dapat diberikan
kepada anggota Tubuh Kristus sesederhana menyalami atau
menanyakan kabar. Lebih lanjut, di dalam konteks gereja
aliran Pentakostal, impartasi pengurapan dengan
penumpangan tangan maupun altar call, sebagai suatu
liturgi yang umum diadakan, sulit terjadi di dalam
ibadah secara daring.[32]
Setelah melihat kajian di atas, maka pertanyaan yang
mungkin terpikirkan adalah: Apakah ibadah secara daring
dapat disebut ibadah gereja? Ronald L. Giese, Jr,
seorang hamba Tuhan dari Desert Springs Church,
Albuquerque, New Mexico di Amerika Serikat, dalam satu
literatur teologi yang ditulisnya, mengatakan bahwa ada
4 (empat) tingkatan hadirat Tuhan dalam hidup orang
percaya, yaitu:[33]
· Tingkat 1: Tuhan hadir dimana-mana.
Ia adalah Sang Mahahadir. Oleh sebab itu, bahkan di
tempat yang tidak ada orangnya sekalipun, hadirat Tuhan
ada di sana. (Mazmur 139:7-12)
· Tingkat 2: Tuhan berdiam di dalam diri orang
percaya
Yaitu melalui Roh Kudus-Nya, setelah orang tersebut
menjadi ciptaan baru atau dilahirkan kembali. (1
Korintus 6:19; Yohanes 14:16-18)
· Tingkat 3: Tuhan tinggal di antara umat-Nya
Yaitu gereja lokal saat mereka berkumpu. (1
Korintus 3:16; 2 Korintus 6:16; Efesus 2:21-22)
· Tingkat 4: Ketika kita bertemu Yesus muka dengan
muka
Yatu seperti Musa berhadapan dengan Tuhan muka
dengan muka. (Keluaran 33:11; 1 Korintus 13:12)
Menurut Giese, berdasarkan kajian yang dibuatnya, ibadah
secara daring tidak dapat disebut ibadah gereja karena
paling tidak 2 (dua) alasan.
Pertama, Tuhan berdiam di antara umat-Nya yang berada di
satu tempat, yaitu gereja lokal. Kehadiran Tuhan tingkat
ketiga ini bisa terjadi di ribuan tempat pada satu waktu
tertentu, karena ada ribuan gereja (fisik) yang bertemu
dalam zona waktu tertentu pada hari Minggu tertentu.
Namun kehadiran Tuhan tingkat ketiga tidak terjadi di
satu “gereja” yang terdiri dari 800 lokasi fisik.
Kedua, ibadah secara daring meminimalkan antropologi
Alkitab. Memang benar bahwa gereja daring dapat
melakukan pemuridan, persekutuan “satu sama lain,”
bahkan sakramen, sama seperti gereja fisik. Namun
Alkitab tidak pernah mengajarkan bahwa kita dapat
bersekutu sepenuhnya dengan Allah hanya melalui “jiwa”
kita saja, tanpa tubuh kita. Faktanya adalah Alkitab
mengajarkan sebaliknya, yaitu bahwa tubuh fisik
merupakan bagian integral dari pengudusan dan penebusan
Tuhan.
Heidi Campell, seorang Professor Komunikasi dari Texas
A&M University di Amerika Serikat, berpendapat bahwa
pandemi COVID-19 telah membuat gereja, yang sejatinya
memang sudah masuk ke ranah digital menjadi “gereja yang
jauh”. Namun, ia mengusulkan bahwa kata sifat “jauh”
itu sebenarnya lebih merujuk kepada “pembatasan jarak
fisik” atau physical distancing, dan bukan “pembatasan
sosial” atau social distancing, karena sesungguhnya
kerinduan manusia untuk berkomunitas dan bersekutu di
antara jemaat gereja tidak pernah berhenti.[34] Sebagai
komunitas eskatologis, gereja adalah kumpulan
orang-orang yang dipersatukan di dalam satu harapan,
yaitu pemulihan akan seluruh ciptaan melalui karya
penebusan Tuhan. Inilah pengharapan eskatologis gereja
Tuhan. Tanpa pengharapan eskatologis, gereja akan
kehilangan arahnya dan akan jatuh ke dalam keputusasaan.
Pengharapan eskatologis akan pemulihan harus menjadi
motivasi bagi gereja untuk terlibat dalam karya
pemulihan Tuhan di semua bidang kehidupan, termasuk
dalam bidang ibadah gereja. Sebagai orang percaya, kita
yakin bahwa Tuhan sanggup memulihkan keadaan yang paling
buruk sekalipun, termasuk pandemi COVID-19 yang telah
dinyatakan berakhir oleh pemerintah Indonesia dan WHO.
Lebih lanjut, penggunaan teknologi digital sesungguhnya
diperbolehkan, bahkan sangat disarankan, selama ia mampu
memperbesar kapasitas gereja Tuhan di dalam melayani.
Akan tetapi, jangan pula kita sampai mengabaikan
cara-cara analog atau konvensional karena fungsi-fungsi
gereja yang akan lebih efektif dan maksimal dijalankan
dengan cara-cara konvensional. Sesungguhnya dapat
dikatakan bahwa pengalaman ibadah secara daring bukanlah
pengalaman ibadah yang utuh dimana fungsi-fungsi gereja
dapat terjadi secara maksimal seperti halnya di dalam
ibadah secara fisik. Teknologi digital bersifat
menginformasikan, sedangkan cara-cara konvensional
bersifat mengtransformasikan. Kita semua selalu
membutuhkan informasi. Namun informasi harus selalu
menggerakkan kita menuju ke arah transformasi. Informasi
adalah sarananya; transformasi adalah tujuannya.[35]
Ibadah secara daring harus dilaksanakan dalam situasi
darurat sesuai dengan aturan pemerintah, karena
pemerintah itu ditetapkan oleh Allah sehingga yang
melawan ketetapan pemerintah berarti melawan ketetapan
Allah (Roma 13:1-2).
Dalam keadaan situasi sudah kembali normal seperti saat
ini, maka anak-anak Tuhan harus kembali beribadah
bersama-sama dalam persekutuan dengan anggota Tubuh
Kristus lainnya dalam Roh Kudus. Daud pun, pada saat ia
berada dalam pelarian dari kejaran Absalom di padang
gurun Yehuda, tetap merindukan tempat kudus Tuhan (Mazmur
63:1-3), yaitu gunung kudus-Nya (Mazmur 15:2) yang
adalah Gunung Sion di Yerusalem (Mazmur 2:6). Sama
halnya dengan Daniel, yang tetap rindu dan berdoa
menghadap ke Yerusalem, meskipun ia sedang berada dalam
pembuangan di Babel. (Daniel 6:11) Pertanyaannya,
rindukah kita untuk bersekutu secara fisik dengan
anggota Tubuh Kristus lainnya di rumah Tuhan, yaitu
gereja lokal kita sehingga persekutuan itu maksimal,
tidak dengan “jiwa” saja, melainkan juga dengan “tubuh”?
(WP)
[1] https://www.kompas.com/sains/read/2020/03/12/083129823/who-resmi-sebut-virus-corona-covid-19-sebagai-pandemi-global
diakses pada tanggal 23 Juli 2024.
[2] https://indonesia.go.id/narasi/indonesia-dalam-angka/ekonomi/kasus-covid-19-pertama-masyarakat-jangan-panik
diakses pada tanggal 23 Juli 2024.
[3] https://www.cnnindonesia.com/nasional/20200303195051-20-480227/mahfud-sebut-polisi-amankan-panic-buying-akibat-corona
diakses pada tanggal 23 Juli 2024.
[4] https://www.cnbcindonesia.com/market/20200424104933-17-154146/bos-bei-buka-bukaan-soal-kondisi-bursa-ri-transaksi-drop-24
diakses pada tanggal 23 Juli 2024.
[5] https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-52194441 diakses
pada tanggal 23 Juli 2024.
[6] https://setkab.go.id/pemerintah-resmi-cabut-status-pandemi-covid-19/
diakses pada tanggal 23 Juli 2024.
[7] https://nasional.kompas.com/read/2023/05/06/10385341/who-cabut-status-darurat-covid-19-kemenkes-artinya-sudah-jadi-penyakit-biasa
diakses pada tanggal 23 Juli 2024.
[8] Paul Enns, The Moody Handbook of Theology, Revised
and Expanded (1), penj. Rahmiati Tanudjaja (Malang:
Literatur SAAT, 2016), 393.
[9] Floyd H. Barackman, Practical Christian Theology,
Examining The Great Doctrines of The Faith, (Grand
Rapids, MI: Kregel, 1998), 413.
[10] Gregg R. Allison, Historical Theology: An
Introduction to Christian Doctrine, (Grand Rapids, MI:
Zondervan, 2011), 565.
[11] Paul Enns, The Moody Handbook of Theology, Revised
and Expanded (1), penj. Rahmiati Tanudjaja (Malang:
Literatur SAAT, 2016), 400-401.
[12] Gregg R. Allison, Historical Theology: An
Introduction to Christian Doctrine, (Grand Rapids, MI:
Zondervan, 2011), 567-569.
[13] https://www.semperref.org/articles/semper-reformanda-the-origins-of-the-slogan-and-its-meaning
diakses pada tanggal 25 Juli 2024.
[14] Yan Yusuf Subu, Media Komunikasi Dalam Terang
Dekrit Inter Mirifica, https://ojs.stkyakobus.ac.id/index.php/jumpa/article/download/13/12/40#:~:text=Pertama%3A%20media%20atau%20sarana%20yang,radio%2C%20televisi%20dan%20lain%20sebagainya.
diakses pada tanggal 25 Juli 2024.
[15] https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/analog diakses
pada tanggal 25 Juli 2024.
[16] https://kbbi.web.id/digital diakses pada tanggal 25
Juli 2024.
[17] Jay Y. Kim, Analog Church, (Downers Grove, IL:
Intervarsity Press, 2020), 12.
[18] Jay Y. Kim, 15.
[19] Jay Y. Kim, 20-21.
[20] Jay Y. Kim, 31.
[21] Jay Y. Kim, 43-44.
[22] Jay Y. Kim, 75.
[23] Jay Y. Kim, 85.
[24] Jay Y. Kim, 95-98.
[25] Jay Y. Kim, 99.
[26] Jay Y. Kim, 107.
[27] Jay Y. Kim, 110.
[28] Jay Y. Kim, 116-117.
[29] Jay Y. Kim, 120.
[30] https://lausanne.org/occasional-paper/lausanne-occasional-paper-being-church-in-a-digital-age#ethical
diakses pada tanggal 27 Juli 2024.
[31] https://lausanne.org/occasional-paper/lausanne-occasional-paper-being-church-in-a-digital-age#ethical
diakses pada tanggal 31 Juli 2024.
[32] https://dbr.gbi-bogor.org/wiki/OSP:20200705 diakses
pada tanggal 31 Juli 2024.
[33] https://www.thegospelcoalition.org/themelios/article/is-online-church-really-church-the-church-as-gods-temple/
diakses pada tanggal 31 Juli 2024.
[34] https://eudl.eu/pdf/10.4108/eai.15-9-2021.2315583
diakses pada tanggal 31 Juli 2024.
[35] Jay Y. Kim, 68