BEKERJA ADALAH PANGGILAN HIDUP
Berfirmanlah Allah: "Baiklah Kita menjadikan manusia
menurut gambar dan rupa Kita, supaya mereka berkuasa
atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan
atas ternak dan atas seluruh bumi dan atas segala
binatang melata yang merayap di bumi."
Kejadian 1:26
Di dalam dunia yang mengejar kesenangan, kebebasan dan
kesenggangan, ‘kerja’ dipandang sebagai sesuatu yang
berat dan menyusahkan. Bahkan seorang penulis bernama
Bob Black menyatakan: “Tidak seorang pun seharusnya
bekerja. Kerja adalah sumber dari hampir semua
kesengsaraan di dunia. Hampir semua kejahatan yang dapat
Anda sebut; itu berasal dari bekerja atau hidup di dunia
yang dirancang untuk bekerja. Untuk menghentikan
penderitaan, kita harus berhenti bekerja.” (The
Abolition Of Work, 1985)
Banyak juga orang Kristen yang beranggapan bahwa bekerja
adalah sebuah kutuk, dan bahwa nanti di sorga, manusia
tidak akan lagi bekerja untuk selama-lamanya, hanya
menikmati hidup dalam kekekalan, tanpa ada kematian dan
kesusahan.
Menarik jika kita memperhatikan bagaimana manusia
bekerja sedemikian rupa, lalu berkesempatan menikmati
hasil jerih lelah mereka dengan waktu luang yang mereka
miliki. Tetapi ketika manusia memiliki banyak waktu
luang untuk tidak melakukan apa-apa, misalnya ketika
mereka berlibur, akhirnya mereka menjadi bosan karena
merasa tidak melakukan apa-apa. Mengapa hal ini bisa
terjadi? Bukankah manusia mencari jalan keluar dari
“kutuk” pekerjaan sehingga bisa bahagia? Mengapa ketika
manusia tidak bekerja mereka juga tidak bahagia?
Kerja Adalah Bagian Dari Jati Diri Manusia
Alkitab dengan jelas mencatat bahwa pekerjaan bukanlah
sebuah kutuk! Bahkan ‘kerja’ sudah ada sebelum manusia
jatuh dalam dosa. Tugas pertama yang Tuhan berikan
kepada manusia adalah bekerja. (Kej 2:15)
Selain itu Alkitab mencatat bahwa Allah adalah pribadi
yang bekerja. Ia sendiri yang menciptakan langit dan
bumi serta segala isinya. (Kej 1:1-15)
Bekerja merupakan natur Allah dan kita sebagai
ciptaan-Nya diberikan kehormatan untuk mengambil bagian
dari natur itu sebagai rekan sekerja-Nya Jadi bekerja
adalah sesuatu yang baik, karena Allah sendiri bekerja.
(Kej 1:26 , 2:15)
Ketika manusia jatuh dalam dosa, Tuhan menjatuhkan kutuk
kepada tanah di mana manusia tinggal. Akibatnya, manusia
harus bersusah payah ketika bekerja. Hal ini yang
kemudian membuat sebagian besar orang berpikir bahwa
bekerja adalah sebuah kutukan dari Tuhan. (Kej 3:17-19)
Kejatuhan manusia dalam dosa memang membuat bekerja
menjadi hal yang berat dan sulit, tetapi kerja itu
sendiri sebenarnya merupakan bagian dari jati diri
manusia sejak penciptaan. Manusia tidak bisa tidak
bekerja. Ada sesuatu di dalam dirinya yang akan selalu
mendorong manusia untuk melakukan sesuatu. Ketika Adam
diperintahkan untuk mengusahakan dan memelihara taman
Eden, hal tersebut merupakan sesuatu yang menyenangkan
dan hasilnya adalah kepuasan karena sudah memenuhi
panggilan dan tujuan hidupnya. (Kej 2:15)
Bekerja adalah Melayani Tuhan
Di dalam dunia kekristenan modern, terdapat pemahaman
bahwa ada perbedaan antara bekerja dan melayani Tuhan.
• Bekerja dipahami sebagai sebuah aktivitas yang
bersifat hanya untuk mencari nafkah ataupun mencapai
tujuan yang bersifat duniawi.
• Sedangkan melayani Tuhan dipahami sebagai aktivitas
yang bersifat secara eksklusif hanya untuk Tuhan.
Akibatnya bekerja dianggap lebih rendah, sedangkan
melayani Tuhan lebih mulia. Ini yang menyebabkan
munculnya ‘dikotomi’ istilah pekerjaan “sekuler” dan “sakral.”
Tentu Alkitab berbicara mengenai pemisahan antara orang
percaya dan orang dunia. Orang percaya adalah mereka
yang dikuduskan (dipisahkan) untuk tujuan Tuhan. Kata
Yunani ‘ekklesia’ yang diterjemahkan menjadi jemaat/
gereja dalam bahasa Indonesia memiliki arti “mereka yang
dipanggil keluar.” Gereja adalah kumpulan orang percaya
yang dipanggil keluar dari dunia dan dikuduskan bagi
Tuhan. Itulah sebabnya orang percaya disebut sebagai
orang-orang kudus; yang dipanggil untuk melakukan
pekerjaan yang baik, yang kudus. (Rom 1:7, Tit 2:14)
Namun dipihak lain Alkitab tidak membuat pemisahan
antara pekerjaan “sekuler” dan “sakral” sehingga
seolah-olah hari Minggu waktunya melayani Tuhan,
sedangkan Senin sampai Sabtu adalah waktunya untuk
melakukan pekerjaan sekuler yang kita kerjakan dengan
cara kita sendiri dan untuk diri kita sendiri. Hal ini
tidak Alkitabiah!
Akibat pemisahan ini, bekerja dipandang sebagai sebuah
aktivitas untuk mengumpulkan harta duniawi dan memuaskan
kedagingan. Bahkan ada yang begitu ekstrim sehingga
mengaitkan bekerja dengan dosa.
Paulus menulis kepada jemaat di Kolose:
“Apapun juga yang kamu perbuat, perbuatlah dengan
segenap hatimu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk
manusia. Kamu tahu, bahwa dari Tuhanlah kamu akan
menerima bagian yang ditentukan bagimu sebagai upah.
Kristus adalah tuan dan kamu hamba-Nya.” (Kol 3:23-24)
Kelahiran baru tidak hanya membawa pemulihan secara
rohani, tetapi juga mengubahkan paradigma mengenai
pekerjaan kita di dunia ini. Bekerja bukan hanya sekedar
bekerja, tetapi pada saat kita bekerja sebenarnya kita
sedang melayani Kristus sebagai Tuan.
Apapun yang kita lakukan;
• bekerja,
• bersenang-senang,
• berlibur,
• makan - minum,
seharusnya kita kerjakan dengan sepenuh hati seperti
melakukannya kepada Tuhan sendiri. Bukankah kita harus
mengasihi Tuhan dengan seluruh keberadaan kita? Tentu
saja bekerja juga harus dilakukan sebagai bagian dari
aktivitas mengasihi Tuhan. (1 Kor 10:31, Luk 10:27)
Kita Akan Melayani Tuhan Dalam Kekekalan
Ketika Yesus datang kembali, Ia akan mendirikan kerajaan
seribu Tuhan di bumi ini. Yesus akan memerintah sebagai
Raja di Yerusalem. Tetapi tidak hanya itu; orang-orang
percaya yang sudah dibangkitkan juga akan ikut
memerintah di bumi ini. (Luk 1:32-33, Yes 32:1, Mat
19:28)
Hal ini menunjukkan bahwa setelah kedatangan Yesus yang
kedua kali, orang percaya ternyata tidak terus menerus
tinggal di sorga menikmati suasana sorga. Namun mereka
akan kembali ke bumi bersama Yesus dan akan memerintah
bersama Yesus. ‘Memerintah’ artinya melakukan suatu
pekerjaan yang berhubungan dengan pengaturan, dengan
kata lain bekerja. (Why 19:14, 20:4)
Hal ini seringkali tidak disadari oleh orang Kristen
bahwa sesungguhnya manusia tidak diciptakan hanya untuk
menikmati suasana sorga tanpa melakukan apapun. Sejak
awal manusia diciptakan untuk bekerja. Di Taman Eden,
Tuhan hadir di sana bersama dengan manusia. Alam semesta
dalam kondisi sempurna karena belum jatuh dalam dosa. Di
dalam kondisi sorgawi itu, Adam dan Hawa diperintahkan
Tuhan untuk berkuasa, memerintah, mengusahakan bumi dan
isinya. (Kej 1:26)
Setelah manusia jatuh dalam dosa, maka bumi berubah
menjadi tempat yang terkutuk. Taman Eden pun seolah-olah
hilang dari bumi ini. Namun setelah Yesus datang kembali,
Tuhan akan hadir di bumi ini untuk memerintah selama
seribu Tahun. Bahkan pada akhirnya, Tuhan juga akan
menciptakan langit baru dan bumi yang baru. (Why 21:1)
Mengapa harus ada langit baru dan bumi yang baru? Apakah
itu gambaran dari sorga? Ternyata Alkitab mencatat bahwa
“sorga” yang disebut “Yerusalem yang baru” pun akan
turun ke bumi yang baru. (Why 21:2-3)
Hal ini merupakan pemulihan kepada kondisi seperti
sebelum manusia jatuh dalam dosa; daripada “sorga” yaitu
Taman Eden ada di bumi. Sebenarnya tujuan orisinil Allah
adalah agar manusia tinggal di bumi bersama-sama dengan
Dia. Inilah kondisi sorga yang sebenarnya.
“Dan malam tidak akan ada lagi di sana, dan mereka tidak
memerlukan cahaya lampu dan cahaya matahari, sebab Tuhan
Allah akan menerangi mereka, dan mereka akan memerintah
sebagai raja sampai selama-lamanya.” (Why 22:5)
Manusia yang sudah ditebus dan sudah dikuduskan tidak
akan sekedar tinggal dan menikmati kondisi sorgawi
tersebut. Alkitab mencatat bahwa mereka akan bekerja
melayani Tuhan. Dan hal ini tidak hanya untuk masa
seribu tahun saja, namun untuk selama-lamanya.
Bagaimana Seharusnya Kita Bekerja?
Ketika Paulus menulis: “Apapun juga yang kamu perbuat,
perbuatlah dengan segenap hatimu seperti untuk Tuhan” (Kol
3:23), hal ini secara langsung memiliki konsekuensi
bahwa hanya pekerjaan yang baik dan kudus saja yang
dapat dikatakan “untuk Tuhan.” Pekerjaan yang melanggar
kebenaran, kekudusan dan keadilan tidak mungkin dapat
diterima oleh Tuhan.
Paulus juga menulis:
“Hai hamba-hamba, taatilah tuanmu yang di dunia dengan
takut dan gentar, dan dengan tulus hati, sama seperti
kamu taat kepada Kristus, jangan hanya di hadapan mereka
saja untuk menyenangkan hati orang, tetapi sebagai
hamba-hamba Kristus yang dengan segenap hati melakukan
kehendak Allah, dan yang dengan rela menjalankan
pelayanannya seperti orang-orang yang melayani Tuhan dan
bukan manusia. Kamu tahu, bahwa setiap orang, baik hamba,
maupun orang merdeka, kalau ia telah berbuat sesuatu
yang baik, ia akan menerima balasannya dari Tuhan.” (Ef
6:5-8)
Ketika seseorang bekerja dengan sungguh-sungguh, maka
tidak saja ia akan menerima upahnya di dunia ini, tetapi
juga dari Tuhan.
Kedua ayat tersebut menyatakan sebuah kebenaran bahwa
Tuhan menginginkan kita mengusahakan yang terbaik dan
dengan ketulusan ketika kita bekerja karena kita
sebenarnya bertanggung jawab kepada Tuhan. Bukankah
Tuhan yang memberikan kepada kita kemampuan untuk dapat
melakukan pekerjaan tersebut?
Semua manusia yang mampu bekerja, harus bekerja. Tidak
ada pengecualian. Di dalam hukum Taurat, ada perintah
yang melarang seseorang untuk menuai panen di sebuah
ladang sampai habis tanpa sisa, sebaliknya mereka harus
menyisakan bagian tepi dari ladang bagi orang miskin dan
orang asing. (Im 23:22)
Tetapi perintah tersebut tidak berarti bahwa orang
miskin dan orang asing hanya duduk dan menantikan
pemberian tuaian dari pemilik ladang. Mereka tetap harus
pergi ke ladang tersebut dan bekerja untuk menuai
sisa-sisa panen di tepian ladang itu. Hal ini
memperlihatkan betapa Tuhan memandang penting seorang
manusia untuk bekerja. Bahkan orang miskin pun
diharuskan bekerja.
Berkali-kali dalam Alkitab Tuhan memperingatkan bahwa
orang yang malas dan tidak mau bekerja akan mengalami
kemiskinan (Ams 14:23; 6:6-11). Paulus bahkan
memperingatkan jemaat di Tesalonika untuk menjauhi
anggota jemaat yang tidak mau bekerja, bahkan menyatakan
bahwa mereka yang tidak bekerja tidak boleh makan (2 Tes
3: 6,10).
Sebagai orang Kristen, pekerjaan yang dilakukan dengan
sungguh-sungguh akan menjadi kesaksian yang memuliakan
Tuhan. (Mat 5:16). Tuhan juga tidak ingin manusia
bekerja sedemikian rupa sehingga pekerjaan itulah yang
dimuliakan; bukan Tuhan. Bahkan pekerjaan menjadi
“tuhan” mereka.
Yesus memperingatkan kita akan hal ini ketika Ia
mengajar tentang mengumpulkan harta (Mat 6:19-24) dan
tentang kekuatiran (Mat 6:25-34). Bahkan Tuhan
sendiripun memberikan teladan dengan “beristirahat” pada
hari ketujuh (Sabat). Tentunya hal ini tidak berarti
Tuhan kelelahan setelah bekerja dan membutuhkan
istirahat. Tuhan ingin agar manusia tidak senantiasa
terikat kepada pekerjaan tetapi juga harus beristirahat.
Beristirahat berarti kita masuk dalam perhentian dan
mengalami persekutuan dengan Tuhan. Amin. (PT)